Merah Putih: One for All, Kontroversi dan Perspektif Dunia Animasi

Category
Release Date
August 13, 2025
Reading Time
2 minutes

Ketika trailer film Merah Putih: One for All dirilis, publik heboh. Banyak yang mempertanyakan: apakah animasi ini sebanding dengan anggarannya?

 

Film ini digarap dalam waktu kurang dari satu bulan. Menurut laporan, biaya produksinya mencapai Rp 6,7 miliar, namun visualnya diprotes. Tampak kaku, minim detail dan lighting, seperti belum rampung. Banyak yang membandingkan film ini dengan Jumbo atau Demon Slayer yang punya kualitas visual jauh lebih baik dan waktu tayang yang tidak jauh berbeda. Netizen menyoroti pula penggunaan aset beli. Beberapa latar layar disebut berasal dari marketplace seperti Daz3D.

 

 

Pandangan Praktisi Soal Merah Putih: One for All

 

Seperti dikutip dari Kompas.id, Kadek Satria Adidharma, dosen Program Studi Animation & Game Multimedia Nusantara Polytechnic (MNP), menyampaikan biaya pembuatan film animasi memang relatif mahal, terutama terkait teknologi yang digunakan. Ia menekankan bahwa dengan bujet tertentu, kualitas karya bisa diperkirakan.

 

“Produksi animasi terbagi menjadi tiga pipeline: praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Satria menegaskan, beragam bentuk upaya penyesuaian dan kompromi. Tetapi harus juga menjaga kualitas dari hasil akhir filmnya,” tegas Satria.

 

Salah satu kompromi realistis adalah pemangkasan durasi. Ini bisa mengurangi biaya rendering, yang biasanya sangat tinggi karena diperlukan teknologi canggih. Kompromi lain yakni mempekerjakan pengisi suara profesional yang terjangkau, namun tetap berkualitas. Satria menyampaikan ringan.

 

“Industri dubbing di kita sendiri harganya juga cukup bersaing dengan kualitas yang sebenarnya oke juga. Jadi tentu enggak perlu tiba-tiba (memaksakan) minta suara, misalnya, Dian Sastro. Ha-ha-ha,” ujarnya.

 

 

Dua Syarat Film Animasi Layak

 

Menurut Satria, sebuah film animasi layak dipuji jika memenuhi dua syarat. Pertama, jalan cerita yang menarik. Kedua, desain karakter yang kuat. Desain karakter tidak hanya mendukung cerita, tetapi juga menarik perhatian penonton. Ia memberi contoh karakter Rara dalam film Nussa (2021). Rara digambarkan sebagai sosok anak perempuan berhijab dengan ciri khas unik.

 

“Desainernya, menurut saya, berhasil. Dia bisa bikin desain karakter yang khas dan berbeda sehingga akhirnya orang terus ingat dengan karakter Rara di film itu,” jelas Satria.

 

Namun sayangnya, Satria tidak melihat kedua syarat itu terpenuhi dalam cuplikan Merah Putih: One for All.

 

 

Refleksi Merah Putih: One for All dari Program Studi Animation & Game

 

Kontroversi ini jadi pelajaran. Pertama, bujet besar saja tidak menjamin kualitas. Kedua, pipeline animasi harus diperhitungkan. Kompromi bukan berarti menurunkan mutu, tetapi dilakukan dengan strategi. Ketiga, desain karakter dan cerita adalah jantung animasi. Teknologi bisa membantu, tapi kreativitas adalah inti.

 

 

Program Studi Animation & Game MNP: Tempat Nyaman Mengasah Kualitas

 

Tertarik belajar animasi dengan pendekatan yang profesional? Prodi Animation & Game di Multimedia Nusantara Polytechnic (MNP) bisa jadi pilihan. Tim pengajarnya terdiri dari praktisi dan akademisi yang memahami dinamika produksi animasi nyata. Di sini, mahasiswa akan belajar mengelola bujet dengan pipeline yang efisien.

Mahasiswa juga belajar mendesain karakter kuat dan membangun cerita memikat. Semua itu dengan fasilitas teknologi terkini dan pendekatan project-based learning.

 

MNP turut membekali mahasiswanya agar siap menghadapi industri animasi nasional. Pelajaran dari kontroversi seperti Merah Putih: One for All justru menjadi motivasi untuk jadi lebih baik. Di MNP, mahasiswa tidak hanya belajar animasi, tetapi juga menjaga integritas kualitas.